Minggu, 12 Desember 2010

BILAKAH IMPLEMNTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA?



BAB I
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang luas dan strategis, memiliki jumlah penduduk di atas 210 juta jiwa, dengan keragaman budaya yang demikian kaya, multietnis, beragam agama dan kepercayaan. Itu semua menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural yang dipersatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa (founding father’s) yang mengonseptualisasikan Pancasila amat sadar akan realitas pluralisme dan multikulturalisme bangsa ini. Pancasila merupakan konsensus nasional, identitas nasional, faktor pemersatu bangsa (common denominator), dan inspirasi menghadapi dan mengakhiri multikrisis.
Di tengah-tengah situasi kehidupan bangsa yang masih dilanda multikrisis dewasa ini, apalagi sejak era reformasi bergulir pada 1998, Pancasila terkesan tidak lagi dijadikan “rujukan utama” (main literature) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana ditunjukkan dengan berbagai gejala dan bibit-bibit disintegrasi bangsa, praktik dan atau perilaku masyarakat terutama para penyelenggara negara menjadi bablas. Korupsi, kolusi, konspirasi, suap-menyuap, dan perilaku sejenisnya marak terjadi yang semua itu merupakan wujud penyimpangan nilai-nilai substansial dari Pancasila.
Dalam aspek realitas sosial, kita melihat gejala yang mengarah pada diingkarinya realitas kemajemukan (pluralisme dan multikulturalisme) bangsa, mengedepannya primordialisme, dan merosotnya sikap toleran dan menghargai perbedaan. Dengan kata lain, terdapat gejala bahwa merosotnya kesadaran kolektif atas realitas kemajemukan bangsa yang disebabkan oleh beberapa faktor. Padahal, kesadaran kolektif tersebut merupakan modal dasar dan modal sosial (social capital) dan character and nation building guna memperkokoh integrasi bangsa. Munculnya sejumlah konflik di negeri ini ditengarai akibat dari mengendornya pemahaman dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila di masyarakat. Padahal, nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut dapat menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku, agama, dan adat.
Pada era orde baru di mana Pancasila dijadikan sebagai doktrin, justru berbagai penyimpangan terhadap nilai-nilai substansial dari Pancasila terjadi di mana-mana. Apalagi kemudian nilai-nilai doktrinal ideologis itu ditafsirkan berdasarkan kepentingan pihak yang berkuasa, sehingga kebenarannya bukan saja menjadi sangat relatif melainkan sekaligus merupakan bagian dari kesalahan fundamental. Bukankah sumber dan sekaligus yang memahami nilai-nilai keindonesian yang abstraksinya terkonstruksi dalam Pancasila itu terus hidup dalam masyarakat dengan tafsir subjektif-objektifnya masing-masing. Nilai-nilai Pancasila merupakan produk sosial kolektif atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu. Yang terpenting dalam konteks ini adalah bahwa karena nilainya sangat luhur dan idealistik, maka ia menjadi filter penyaring dari segala kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan idealistik-luhur yang ada itu.
Uraian di atas cukup memberikan gambaran bahwa Pancasila telah mengalami marjinalisasi. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, diperlukan upaya untuk kembali “mengarisutamakan” (mainstreaming) Pancasila sebagai rujukan utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila harus direaktualisasikan sebagai sumber inspirasi yang implementatif (tidak sekadar normatif) bagi pembangunan dan proses demokrasi bangsa. Pancasila juga harus disegarkan kembali sebagai jati diri, karakter, sekaligus pemersatu bangsa.
Dalam kondisi multikrisis dewasa ini, Pancasila harus diletakkan kembali dan diimplementasikan secara efektif sebagai pemersatu bangsa. Namun pemasyarakatan dan implementasi Pancasila membutuhkan pendekatan yang tidak elitis dan tidak indoktrinatif seperti di masa lalu, tetapi lebih pada metode partisipatif, implementatif, dan produktif seiring proses internalisasi atas nilai-nilai Pancasila itu sendiri khususnya dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Semua itu tentunya memerlukan komitmen sungguh-sungguh segenap masyarakat tidak ketinggalan adalah generasi penerus bangsa serta para elite pemimpin bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Nilai-Nilai Pancasila
Hidup berbangsa dan bernegara kita tampaknya semakin menyedihkan. Berita-berita yang memilukan serta gambar-gambar yang mengiris hati melalui tayangan televisi seolah-olah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari telinga dan mata masyarakat. Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan  berbasis agama dan adat)  berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah). Nilai yang diajarkan di sekolah juga tidak sama dengan nilai yang berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih di dominasi oleh nilai-nilai KKN. Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa masyarakat pada sistem nilai yang amat pragmatis dan hedonis.
Nilai-nilai Pancasila harus direvitalisasi untuk kepentingan bangsa. Dengan Pancasila bangsa Indonesia harus mampu merespons kemajuan zaman dengan bijak dan adil, termasuk meletakkan dan memandang masa lalu, masa kini dan masa depan. Pancasila yang merupakan landasan bersama (common platform), sudah sepantasnya diberikan perhatian yang serius. Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila, maka itu bukanlah didasari romantisme historis, kerinduan belaka terhadap masa lalu. Masa lalu yang pahit bagi Pancasila sudah dialami negara-bangsa Indonesia, ketika indoktrinasi P4 atas berbagai lapisan masyarakat, membuat Pancasila seolah-olah kehilangan ‘nama baik’. Pemerintah Orde Baru tidak hanya melakukan dominasi dan hegemoni atas pemaknaan Pancasila, tetapi juga melakukan berbagai kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan pandangan dunia dan nilai-nilai Pancasila. Pemujaan berlebihan dan pelencengan pemaknaan terhadap hakekat Pancasila yang dilakukan semasa Orde Baru melalui penyamaan antara nilai, makna dan praksis serta reduksi posisi filsafati  Pancasila dari posisi nilai yang disamakan dengan kekuasaan/rezim atau sebagai alat pembenaran politis sebuah rezim ini yangoleh Kaelan merupakan kekacauan fatal epistemologis yang pernah dilakukan terhadap Pancasila.[1]
Semua ini membuat banyak orang enggan membicarakan Pancasila; pembicaraan tentang Pancasila bahkan nyaris sebagai sesuatu yang tabu. Dampak yang cukup serius atas manipulasi nilai-nilai Pancasila oleh para penguasa pada masa lampau, membuat banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru, sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap sebagai upaya mengembalikan kewibaan Orde Baru. Tentunya pandangan yang sinis serta upaya melemahkan peranan idiologi Pancasila di era reformasi saat ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia di tengah-tengah era globalisasi saat ini.
Revitalisasi Pancasila mendesak karena beberapa alasan internal dan eksternal. Secara internal, sejak masa berlangsungnya ‘Masa Reformasi’, beberapa faktor pemersatu bangsa jelas mengalami kemerosotan. Negara-bangsa yang berpusat di Jakarta semakin berkurang otoritasnya; sentralisme sebaliknya digantikan dengan desentralisasi dan otonomisasi daerah. Dalam hal terakhir ini kita menyaksikan bangkitnya sentimen provinsialisme dan etnisitas yang cenderung mengabaikan kepentingan dan integrasi nasional. Dipicu oleh adanya globalisasi, Identitas sebagai bangsa Indonesia yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila menjadi masalah manakala identitas lainnya menjadi lebih dominan daripada identitas nasional itu sendiri, seperti identitas yang didasarkan pada etnisitas atau identitas religius fundamentalis, yang oleh Manuel Castells disebut sebagai “resistence identity”.[2]
Pada saat yang sama, penghapusan kewajiban asas tunggal Pancasila yang diberlakukan sejak 1985, yang diikuti liberalisasi politik dengan sistem multipartai, juga menghasilkan berbagai ekses. Fragmentasi politik, baik di tingkat elite dan akar rumput terus berlanjut, yang sering berakhir dengan lenyapnya keadaban publik (public civility), dan cenderung disintegratif. Pada saat yang sama, liberalisasi politik berbarengan dengan kegagalan negara menegakkan hukum, memberikan momentum bagi menguatnya religious-based ideologies, yang cenderung divisif, karena adanya berbagai aliran pemikiran, mazhab, dan semacamnya di dalam agama. Bisa disaksikan, parpol-parpol yang berlandaskan agama -baik Islam maupun Kristen– terus rentan pada perpecahan; landasan agama tidak mampu mengatasi perbedaan-perbedaan yang berimpitan dengan kontestasi pengaruh dan kekuasaan. Pada saat yang sama, terlihat pula peningkatan berbagai kelompok masyarakat yang bergerak atas religious-based ideologies dan atas nama agama. Yang tak kurang pentingnya adalah serbuan globalisasi, yang tidak hanya menimbulkan disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bahkan mengakibatkan memudarnya identitas nasional dan bahkan jati diri bangsa. Globalisasi yang sesungguhnya juga punya nilai positif, sebaliknya justru lebih banyak menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Revitalisasi Pancasila yang urgen itu bisa dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai wacana publik, sehingga masyarakat merasakan bahwa Pancasila masih ada, dan masih dibutuhkan bagi negara-bangsa Indonesia. Selama 61 tahun lebih, Pancasila mampu mengayomi anak-anak bangsa yang begitu majemuk; viabilitas Pancasila dengan demikian telah teruji sebagai kerangka dasar bersama negara-bangsa Indonesia. Selanjutnya, perlu dilakukan penilaian kembali (reassesment) tentang penafsiran dan pemahaman Pancasila, yang telah pernah dirumuskan di masa silam. Penafsiran monolitik sepatutnya ditinggalkan; apalagi kalau penafsiran tunggal tersebut didominasi rezim penguasa, yang menggunakan untuk kepentingan kekuasaan. Publik dan masyarakat memiliki hak semestinyalah terlibat dalam reassesment, dan rekontekstualisasi penafsiran Pancasila di tengah situasi dan tantangan yang terus berubah. Terakhir, reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah tantangan yang tidak kurang beratnya. Karena selama masih terdapat dalam masyarakat banyak kontradiksi yang tidak sesuai dengan esensi dan nilai-nilai Pancasila, ketika itulah orang menganggap Pancasila sebagai lips-service belaka.
2. Internalisasi Nilai Pancasila Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. (Pasal 1 ayat 3). Berdasarkan Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[3]
Seiring dengan lahirnya reformasi, eksistensi Pancasila sempat dipertanyakan dan diperdebatkan sebagai dasar negara. Bukan hanya itu, Pancasila juga digugat keberadaannya. Bahkan MPR dengan Ketetapan MPR No XXVIII mencabut Ketetapan MPR No II Tahun 1978 tentang P4. Alergi publik pada masa reformasi antara lain adalah dalam bentuk malunya sebagian masyarakat, para elit politik dan birokrasi untuk berbicara tentang Pancasila. Penempatan Pancasila yang setengah hati dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan contoh konkrit alergi publik ini.  Kurikulum pendidikan baik dasar, menengah, dan tinggi berdasarkan Bab X Pasal 37 sudah tidak memuat lagi pendidikan Pancasila. Lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disana sudah tidak ada lagi kewajiban memasukkan mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Pancasila untuk semua jenis pendidikan baik umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah hanya mewajibkan untuk memuat: a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu pengetahuan alam; f)ilmu pengetahuan sosial; g) seni dan budaya; h) pendidikan jasmani dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal. Dan berdasarkan Pasal 11 Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; dan c) bahasa. [4] Dan  sejak itu pula banyak dari dasar dan pandangan negara yang terkait dengan Pancasila, di antaranya UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika tidak banyak disinggung karena orang khawatir dianggap tidak reformis ketika meneriakkan semua itu.
Padahal reformasi pada hakekatnya adalah perubahan dan kesinambungan, sehingga sebagai suatu dasar negara Pancasila tidak selayaknya diabaikan keberadaannya yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Namun dalam perjalanannya saat ini, ternyata Rakyat Indonesia yang seharusnya merdeka dari pikiran magisnya malah terbelenggu dalam pikiran yang terkotak-kotak dan mulai terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok Bangsa di dalam sebuah Bangsa.
Rejim Orba pernah melakukan  usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental, sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai pancasila yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.  
Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia  ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan  (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi“, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang masyarakat kita sering melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (misalnya korupsi “berjamaah”). Orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”.
Kelompok-kelompok yang membawa bendera-bendera agama, suku, ras mulai berlahiran kembali seolah-olah kelompok tersebut tidak hidup dalam sebuah bangsa yang memiliki keberagaman. Penetrasi ideologi asingpun mudah masuk dan memecah belah elemen-elemen bangsa ini sehingga menimbulkan pertanyaan benarkah Pancasila masih merupakan Pandangan Hidup Bangsa ini?. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia kembali mengalami kemunduran berpuluh-puluh Tahun dimana sebelum ada Indonesia negara ini terkotak-kotak oleh semangat kedaerahannya. Padahal Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai “Ide utamanya” merupakan bentuk proklamasi dari terbebasnya Indonesia dari pikiran-pikiran magis tersebut, namun lucunya justru Rakyat Indonesia malah terjebak dalam “stigma magis” dari Pancasila.Pancasila dianggap seolah-olah jimat yang memiliki kesaktian yang mampu bertindak sendiri tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.Pancasila dianggap dapat terbang dari sabang sampai merauke untuk mengampanyekan pentingnya Persatuan dan kesatuan Bangsa.Bahkan Pancasila dianggap dapat memancarkan wibawanya kesuluruh dunia dengan sendirinya tanpa harus ada yang menceritakannya. Kenyataannya Pancasila itu tidaklah sesakti itu. Pancasila hanyalah hasil buah pikir manusia, namun bernilai mulia. Pancasila dapat hidup jika seluruh Bangsa Indonesia ikut hidup di dalamnya.Pancasila di dalam Indonesia dan Indonesia di dalam Pancasila sebagai satu kesatuan. Didalam Pancasila terdapat visi-visi Bangsa ini untuk mengarungi lautan Dunia dalam perjalanannya sebagai sebuah Negara.Tanpa Pancasila, habislah Indonesia.Sebab Indonesia ada karena para pendiri Bangsa ini menjiwai Pancasila sebagai pandangan kebangsaannya. Oleh karena itu meskipun saat ini Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa sudah menjadi puing-puing reruntuhan, marilah kita kembali menggalinya dan menyusunnya kembali sebagai sebuah Ideologi yang menunjukkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia.
Apabila internalisasi Pancasila sebagai ideologi bernegara tidak mendapatkan tempat yang layak, hanya karena tidak ada komitmen bersama untuk memiliki ketegasan ke arah itu, maka ancaman terhadap eksistensi bangsa akan selalu muncul. Bahkan boleh jadi disintegrasi bangsa dapat saja timbul dari benturan-benturan ideologis. Kini, dapat dicermati maraknya desakan pemberlakuan formalisasi syari’at Islam di satu sisi dan arus globalisasi dengan neo-liberalisme dan neo-kolonialisme pada sisi lain.
Pada tataran inilah, penyegaran dan pemaknaan secara kontekstual dan inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi tujuan utamanya Pancasila merupakan suatu hal yang urgen. Dengan cara melakukan interpretasi secara terus-menerus dan mengadopsi semua perkembangan yang sesuai baik dari dalam maupun luar negeri, maka kita dapat menempatkan Pancasila menjadi ideologi yang progresif, dinamis dan bergerak ke depan.
Secara subtansial Pancasila adalah common denominator (“pembagi bersama” alias titik temu) bagi berbagai pemikiran dan aliran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila terbuka terhadap ide-ide atau pemikiran yang dikembangkan oleh para pendukungnya. Bahkan Pancasila juga terbuka terhadap pengaruh unsur-unsur ideologi asing. Kehadiran ide-ide itu justru menyuburkannya, karena Pancasila cukup handal secara subtansional untuk tidak terjebak dalam salah satu ideologi apapun. Pancasila sebagai sebuah teks, memuat kristalisasi pemikiran kenegaraan yang mendasar sebagai bangsa, yaitu untuk memberikan kerangka dasar ideologi bernegara Indonesia. Pembacaan atas perjalanan sejarah Indonesia sampai saat ini sebaiknya dipahami dalam kerangka Pancasila yang berproses menemukan bentuknya dengan tradisi-tradisi yang dibangunnya. Inklusifitas pemahaman Pancasila menjadi agenda utama untuk menemukan nilai-nilai luhur yang sebenarnya tertanam dalam teks Pancasila.
Seharusnya semua mata pelajaran menganut filosofi sebagai media internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang tentunya dibutuhkan syarat dan kesesuaian antara dasar yang diajari dan isi yang diajarkan. Dalam pembelajaran yang ditekankan adalah praktik dan penanaman nilai-nilai luhurnya yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesalahan fatal masa orde baru terhadap pancasila adalah sepanjang kekuasaanya, pemerintah hanya melakukan Indoktrinasi kepada semua lapisan masyarakat. Selain itu pancasila dijadikan senjata dan alasan politik untuk membungkam pihak-pihak yang kritis. Namun tanpa disadari oleh masyarakat pola doktrin itu justru menjauhkan pancasila dari nilai-nilai moral yang luhur. Pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai pancasila melalui pranata sekolah memang penting. Karena pendidikan moral tersebut memiliki misi pembentukan moral dan karakter bangsa yang ditekankan dalam penerapan nilai-nilai luhurnya, selain dipelajari sebagai ilmu, Pancasila juga diterapkan dalam kehidupan sosial. Disetiap kegiatan belajar mengajar disekolah seharusnya bukan lagi indoktrinasi tetapi diganti dengan internalisasi. Nilai pancasila hendaknya terisikan pada semua mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler tanpa penghafalan verbal.
Menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila tidak berarti memuja Orde Baru. Sebagai nilai luhur yang terbukti mampu merekatkan komponen bangsa di tengah pluralisme, Pancasila tetap aktual sepanjang zaman tanpa mengenal periodisasi rezim, harus diakui bahwa buruknya persepsi masyarakat akan Pancasila tak lepas dari indoktrinasi pada zaman Orde Baru. “Karena itu, dalam menyelamatkan bangsa dari ancaman perpecahan, pendidikan mental ideologi hendaknya tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinasi. pendidikan dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila melalui pranata sekolah adalah jalur strategis. Sebab, pada fase anak usia dini hingga fase anak mencari identitas diri, pembekalan ideologi akan sangat membekas dalam sanubari. Hal itu juga sejalan dengan misi pendidikan yang tak lepas dari upaya membangun karakter bangsa. Tentu saja ini tali-temali dengan peran orangtua serta guru untuk memberikan keteladanan. Dan meskipun perkembangan karakter seseorang bukan tanggung jawab tunggal sekolah, secara historis sekolah telah lama berperan penting dalam area ini. Di sekolah, kaum muda sengaja atau tidak mempelajari bagaimana seharusnya berperilaku.
Pancasila hadir dengan proses internalisasi yang mengalir. Ia harus lebih ‘menyapa’ dan bukan ‘memaksa’. Pancasila harus menjadi mainstream di tengah tawaran berbagai nilai yang punya potensi untuk membawa bangsa ini ke titik nadir. Pancasila harus menjadi bingkai kebangsaan dan perekat identintas untuk membawa bangsa ini memasuki panggung global yang keras. Keras karena bangsa mana pun yang lemah pertahanan dirinya bisa terlempar ke pinggiran. Ia hanya akan menjadi penonton. Pancasila bisa ‘menyelamatkannya’. Dengan syarat para pemimpin negeri ini bisa menjadi inspirasi dan berada di barisan terdepan dalam mengimplementasikannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Pancasila yang mengandung nilai-nilai religiusitas, kemanusiaan (humanisme), persatuan, demokrasi, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sudah saatnya  dipakai kembali sebagai landasan untuk mempersatukan dalam membangun kesadaran kolektif bangsa Indonesia.
Sebagai nilai luhur yang terbukti mampu merekatkan komponen bangsa di tengah pluralisme, Pancasila tetap aktual sepanjang zaman tanpa mengenal periodisasi rezim. Karena itu, dalam menyelamatkan bangsa dari ancaman perpecahan, pendidikan mental ideologi hendaknya tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinasi, untuk mewujudkannya maka revitalisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan nasional merupakan salah satu alternatif yang penting dilakukan. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk sebagai warga negara untuk terus mengembangkan serta mengkaji Pancasila sebagai suatu hasil karya besar bangsa Indonesia ditengah-tengah idiologi dunia lainnya, dalam rangka menuju cita-cita bangsa dan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
B. SARAN
Pancasila harus direaktualisasikan sebagai sumber inspirasi yang implementatif (tidak sekadar normatif) bagi pembangunan dan proses demokrasi bangsa. Pancasila juga harus disegarkan kembali sebagai jati diri, karakter, sekaligus pemersatu bangsa. Nilai-nilai Pancasila harus direvitalisasi untuk kepentingan bangsa, agar dapat merespons kemajuan zaman dengan bijak dan adil, termasuk meletakkan dan memandang masa lalu, masa kini dan masa depan. Sistem pendidikan nasional seharusnya menganut filosofi sebagai media internalisasi nilai-nilai Pancasila, dan selanjutnya menjadi tugas kita untuk bersama-sama membangun sistem atau institusi dengan berorientasi pada nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Castell, Manuel. 2001. The Power of Identity. Massachussetts: Blackwell.
Kaelan. 2006. Revitalisasi dan Reaktualisasi Pancasila sebagai Dasar Filsafat dan Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia. Seminar satu Abad kelahiran Notonegoro. UGM
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

[1] Kaelan. 2006. Revitalisasi dan Reaktualisasi Pancasila sebagai Dasar Filsafat dan Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia. Seminar satu Abad kelahiran Notonegoro. UGM
[2] Manuel Castell. The Power of Identity. Massachussetts: Blackwell, 2001, h. 9.
[3] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[4] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Bottom of Form


OLEH: SYARIFUDIN

0 comments:

Posting Komentar

 

CATATAN kecilku. Template by Ipietoon Cute Blog Design